Selasa, 14 Mei 2013

Epidemiologi Malaria

         Malaria masih merupakan masalah kesehatan di negara tropis, dengan perkiraan sekitar 40% penduduk dunia maish mengidap malaria. penyakit malaria masih juga merupakan masalah kesehatan global, karena menyebabkan kematian dan mengakibatkan dampak sosial ekonomi besar terutama penduduk miskin yang bermukim di negara-negara sedang berkembang endemic malaria.

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina.
Di Indonesia malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian tertinggi terutama pada kelompok resiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil. selain itu malaria secara langsung menyebabkan anemia dan menurunkan produktivitas kerja.

secara segitiga epidemiologi penyakit malaria dapat diuraikan sebagai berikut :


    1.      Agent
     penyakit malaria disebabkan oleh parasit plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah manusia yang secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. sampai sekarang dikenal 4 jenis plasmodium sebagai penyebab malaria  yaitu :

a.       plasmodium falciparum sebagai penyebab Malaria Tropika
penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini sering menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau dan kematian. Plasmodium jenis ini memiliki masa inkubasi selama 9 – 14 hari.
b.      plasmodium vivaks sebagai penyebab penyakit Malaria Tertiana.
Malaria tertiana dengan gejala demam dapat terjadi setiap dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi (dapat terjadi selama dua minggu setelah infeksi). Plasmodium jenis ini memiliki masa inkubasi selama 12 – 17 hari
c.       plasmodium malariae sebagai penyebab penyakit Malaria Quartana
memiliki masa inkubasi lebih lama daripada penyakit malaria tertiana atau tropika; gejala pertama biasanya tidak terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala itu kemudian akan terulang lagi tiap tiga hari.
d.      plasmodium ovale
penyakit Malaria dengan gejala yang hampir  serupa dengan Malaria Tertiana. Plasmodium jenis ini memiliki masa inkubasi selama 16 – 18 har



2. Host
      setiap manusia dapat terkena malaria. Selain itu plasmodium juga dapat menginfeksi hewan seperti anjing, kuda dan sapi. Host yang sangat rentan terhadap malaria adalah ibu hamil dan anak-anak karena dapat menyebabkan kematian. penduduk yang tinggal di daerah endemik malaria lebih jebal terhadap malaria di daerahnya, karena memperoleh kekebalan alami. adanya faktor genetik yang protektif terhadap malaria adalah kelainan hemoglobin misal : thalasemia dan hemoglibinopati.

3. Environment
       a. suhu
     Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu optimum berkisar antara 20-30ÂșC. makin tinggi suhu ( sampai batas tertentu ) makin pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) dan sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsi
    b.      Kelembaban
      Kelembapan akan memperpendek umur nyamuk. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidup nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk akan menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit sehingga meningkatkan penularan manusia
    c. Hujan
     Pada umumnya hujan akan mempermudah perkembangan nyamuk dan terjadinya epidemi malaria besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan deras hujan, jenis vector dan jenis perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk anopheles
d.      Ketinggian
     Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah. Hal ini berkaitan dengan menurunnya suhu rata-rata. Pada ketinggian  di atas 2000 m  jarag terjadi transmisi malaria. Hal ini bisa berubah bila terjadi pemanasan bumi dan pengaruh El-nino.
e.       Angin
      Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan ikut menentukan jumlah kontak antara nyamuk dengan manusia
f.       Sinar matahari
     Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda tergantung jenis spesies. Ex : An. Sundaicus suka ditempat teduh, An. Hyrcanus spp dan An. Pinctulatus spp lebih menyukai tempat terbuka
g.      Arus air
      Pengaruh arus air tergantung kepada jenis spesies anopheles. An. Barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis / mengalir lambat sedangakan An. Minimus menyukai aliran air yang deras dan An. Letifer menyukai air tergenang.
h.      Kadar garam
     An. Sudaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya 12-18% dan tidak berkembang pada kadar garam 40% ke atas.

ini dia jenis anopheles yang harus diwaspadai di Indonesia !



ada beberapa jenis Anopheles yang harus diwaspadai sebagai malaria di Indonesia :

a.       Anopheles sundauicus
Spesies ini terdapat di Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Bali. Jentiknya ditemukan pada air payau yang biasanya terdapat tumbuh–tumbuhan enteromopha, chetomorpha dengan kadar garam adalah 1,2 sampai 1,8 %. Di Sumatra jentik ditemukan pada air tawar seperti di Mandailing dengan ketinggian 210 meter dari permukaan air laut dan Danau Toba pada ketinggian 1000 meter.

b.      Anopheles aconitus
Di Indonesia nyamuk ini terdapat hampir di seluruh kepulauan, kecuali Maluku dan Irian. Biasanya terdapat dijumpai di dataran rendah tetapi lebih banyak di daerah kaki gunung pada ketinggian 400–1000 meter dengan persawahan bertingkat. Nyamuk ini merupakan vector pada daerah–daerah tertentu di Indonesia, terutama di Tapanuli, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali.
Spesies ini terdapat di seluruh Indonesia, baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Jentik biasanya terdapat dalam air yang jernih, alirannya tidak begitu cepat, ada tumbuh–tumbuhan air dan pada tempat yang agak teduh seperti pada tempat yang agak teduh seperti pada sawah dan parit.

c.       Anopheles kochi
Spesies ini terdapat diseluruh Indonesia, kecuali Irian. Jentik biasanya ditemukan pada tempat perindukan terbuka seperti genangan air, bekas tapak kaki kerbau, kubangan, dan sawah yang siap ditanami.

d.      Anopheles maculates
Penyebaran spesies ini di Indonesia sangat luas, kecuali di Maluku dan Irian. Spesies ini terdapat didaerah pengunungan sampai ketinggian 1600 meter diatas permukaan air laut. Jentik ditemukan pada air yang jernih dan banyak kena sinar matahari.

e.       Anopheles subpictus
Spesies ini terdapat di seluruh wilayah Indonesia. Nyamuk ini dapat dibedakan menjadi dua spesies yaitu :
1.      Anopheles subpictus malayensis
Jentik ditemukan di dataran rendah, kadang–kadang ditemukan dalam air payau dengan kadar garam tinggi
2.      Anopheles subpictus malayensis
Spesies ini terdapat di Purwakarta, Jawa Barat, Balikpapan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan. Jentik ditemukan pada genangan air bekas tapak binatang, pada kubangan bekas roda dan pada parit yang aliran airnya terhenti

f.        Anopheles barbirostris
Spesies ini terdapat di seluruh Indonesia, baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Jentik biasanya terdapat dalam air yang jernih, alirannya tidak begitu cepat, ada tumbuh–tumbuhan air dan pada tempat yang agak teduh seperti pada tempat yang agak teduh seperti pada sawah dan parit.

g.      Anopheles balabacensis
Spesies ini terdapat di Purwakarta, Jawa Barat, Balikpapan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan. Jentik ditemukan pada genangan air bekas tapak binatang, pada kubangan bekas roda dan pada parit yang aliran airnya terhenti.

Sabtu, 11 Mei 2013

Sekilas Mengenai Bulan K3

bulan k3 diperingati dari tanggal 12 Januari sampai dengan tanggal 12 Februari. berikut ini sedikit ulasan mengenai bulan k3 :

  1. peringatan bulan k3 di koordinir oleh depnakertrans dirayakan secara mencolok, ketua panitian biasanya menteri bahkan tidak jarang presiden.
  2. bulan k3 bertujuan untuk mengingatkan perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan keselamatan kerja karyawan dan mencegah kecelakaan fatal di tempat kerja
  3. setelah 41 tahun dicanangkan bulan k3, pemerintah masih kekurangan personil untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang terkait k3.
  4. sudah 41 tahun dicanangkan bulan k3, pemerintah masih dihadapkan pada pejabat yang terlibat korupsi, kolusi nepotisme dengan pemilik perusahaan.
  5. kurangnya disiplin diantara pekerja dan pemilik perusahaan menyebabkan makin meningkatnya jumlah kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
demikian ulasan mengenai bulan k3, semoga bermanfaat.. " Utamakan Keselamatan di jalan dan di tempat kerja!"

epidemiologi Kesehatan Reproduksi


EPIDEMIOLOGI KESEHATAN REPRODUKSI
Oleh:
Ni’mal Baroya, MPH.
Dosen Bagian Epidemilogi dan Biostatistika Kependudukan

1.   Pengertian dan Ruang Lingkup
Pemahaman tentang epidemiologi kesehatan reproduksi perlu dilandasi pemahaman tentang epidemiologi yang utuh. Secara singkat, epidemiologi didefinisikan sebagai studi tentang pola penyakit, kesehatan dan perilaku manusia. Seorang epidemiolog, akan mampu menjawab pertanyaan penelitian dengan cara mengklasifikasi individu ke dalam satu atau lebih kelompok yang berbeda kemudian menilai perbedaan diantara kelompok tersebut. Dengan demikian, Epidemiologi kesehatan reproduksi merupakan aplikasi dari studi epidemiologi dalam mengkaji risiko perilaku, lingkungan dan perawatan kesehatan terhadap sistem reproduksi baik pada laki-laki maupun perempuan serta  risiko terhadap kesehatan anak yang dilahirkannya. Jadi, epidemiologi kesehatan reproduksi lebih banyak menjangkau ranah penelitian.
Kesehatan reproduksi manusia dimulai dari pertumbuhan dan perkembangan seksual yang terwujud dalam masa pubertas, dan akan berlangsung terus sepanjang hidupnya pada laki-laki dan pada perempuan akan berakhir pada masa menopause. Kesehatan reproduksi dipengaruhi oleh fertilitas dan pengambilan keputusan tentang aktivitas seksual, kehamilan dan pemakaian kontrasepsi. Secara mendetail, Kiely (1990) menjelaskan lingkup kajian epidemiologi kesehatan reproduksi sebagai berikut:
a.    Perkembangan anak dan masa pubertas, peneliti epidemiologi reproduksi mengeksplorasi faktor risiko terjadinya kelahiran di usia dini, kehamilan yang tidak diinginkan baik konsekuensi pada aspek kesehatan maupun sosial. Salah satu tantangan besar para epidemiolog reproduksi di negara maju adalah mengidentifikasi faktor risiko yang bisa dicegah terhadap terjadinya melahirkan di usia dini, sejak angka fertilitas di kalangan remaja di negara-negara tersebut meningkat. Investigasi pada permasalahan ini termasuk menggali alasan pada akses dan pemanfaatan metode perencanaan kelahiran yang berbeda serta kesehatan bayi yang dilahirkan ibu yang masih remaja.
b.    Akses dan pemanfaatan perawatan kehamilan. Secara konsisten, hasil penelitian telah menemukan bahwa bayi yang dilahirkan ibu yang mendapat perawatan kehamilan sejak dini (usia trimester pertama) dan yang mendapatkan perawatan kehamilan yang adekuat (diukur berdasarkan jumlah kunjungan ke perawatan kehamilan) mempunyai risiko lebih rendah untuk terjadi berat bayi lahir rendah  dan kematian perinatal. Meskipun belum jelas bagaimana keuntungan ini berhubungan dengan faktor individu perempuan yang mendapat perawatan kehamilan lebih dini dan adekuat dan bagaimana hubungannya dengan macam dan kualitas pelayanan yang diterima. Salah satu ranah penelitian terbaru adalah mengkaji komponen perawatan kehamilan  untuk menguji perbedaan insiden kesakitan dan hasil kehamilan (bayi yang dilahirkan).
c.    Safety dan efficacy treatment komplikasi ibu dan bayi. Dengan menggunakan randomized clinical trial, peneliti menguji safety dan efficacy treatment obat betamimetic untuk menghentikan kelahiran premature. Dengan studi case-control, peneliti  mengkaji risiko lahir cacat pada obat yang digunakan selama perawatan kehamilan, seperti Bendectin digunakan untuk mengobati mual dan muntah. Dengan menggunakan epidemiologi deskriptif, peneliti melacak peningkatan prevalensi operasi Caesar. Dan dengan menggunakan studi cohort, peneliti mengukur dampak regionalisasi perawatan kehamilan terhadap peningkatan penggunaan unit perawatan intensif pada bayi baru lahir (neonatal).
d.    Risiko lingkungan dan perilaku terhadap reproduksi. Hal ini termasuk bahan kimia di tempat kerja yang mungkin mempengaruhi produksi sperma dan meningkatkan risiko aborsi spontan, merokok dan alcohol mempengaruhi hasil kehamilan dan bahan kimia yang terdapat di lingkungan juga mempengaruhi hasil kehamilan.
e.    Kajian tentang ancaman terhadap kesehatan dan kelangsungan hidup perempuan dan anak dihubungkan dengan metode perencanaan kelahiran dan kehamilan yang tidak diinginkan. Beberapa  pertanyaan peneliti yang dikaji adalah sebagai berikut; apakah pemakaian IUD meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit radang panggul?, apakah aborsi mempengaruhi bayi yang dilahirkan berikutnya, dan apakah risiko kanker rahim meningkat atau menurun oleh penggunaan kontrasepsi oral?.
Dengan demikian, menurut Wingo et al. (1991), seorang epidemiolog reproduksi dapat melakukan kajian pada seluruh aspek kesehatan reproduksi, termasuk perkembangan seksual, aktivitas seksual, kontrasepsi, metode kontrasepsi, fertilitas, kehamilan yang tidak diinginkan, abortus yang disengaja, kesakitan dan kematian ibu dan bayi, masalah saluran reproduksi baik pada laki-laki maupun perempuan, dan pelayanan kesehatan ibu dan bayi serta keluarga berencana.

2.   Sekilas Sejarah Epidemiologi Reproduksi
Membincangkan sejarah epidemiologi kesehatan reproduksi, kita harus menilik kembali abad ke-19 di Wina ketika Ignaz Semmelweis menemukan kematian pada masa nifas (karena demam) lebih tinggi  pada perempuan yang pada saat melahirkan di rumah sakit, bayinya ditolong oleh mahasiswa kedokteran jika dibandingkan dengan ibu yang saat melahirkannya ditolong oleh bidan. Dia menghubungkan perbedaan ini pada kebiasaan bidan mencuci tangan mereka pada setiap antara menolong persalinan (McMahon dan Pugh dalam Wingo et al., 1991).
Epidemiologi reproduksi modern berkembang selama abad ke-20. Registrasi kelahiran dan kematian di USA sudah tertata pada awal abad ini, dan di Eropa pada abad 18 dan 19, melakukan identifikasi faktor risiko kematian ibu dan bayi. Kesehatan masyarakat melakukan pengukuran kemudian mendesain program untuk mengurangi faktor-faktornya. Seperti, penyediaan pos susu untuk ibu yang mempunyai bayi. Hal ini dilakukan ketika ditemukan ada hubungan antara kematian bayi dengan sanitasi dan gizi oleh Holland et al., 1984 dalam Wingo et al., 1991. Dengan pelaksanaan program intervensi tersebut, berdasarkan hasil kajian epidemiologi reproduksi, terjadi penurunan 95% kematian ibu di USA dari tahun 1915-1965. Dan di Swedia, angka kematian bayi juga turun dari 200 kematian per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1970 menjadi 20 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1950 (Wingo et al., 1991).

3.   Pengaruh Demografi dan Epidemiologi  
       Epidemiologi reproduksi juga berasal dari ilmu demografi, sebuah disiplin ilmu yang berkembang selama abad ke 19 dari studi registrasi jamaah gereja di Inggris. Sejarah perubahan kependudukan (transisi demografi) dan perubahan pola kesehatan dan penyakit (transisi epidemiologi) secara langsung mempengaruhi mortalitas, fertilitas, angka kelahiran, dan ukuran kesehatan reproduksi lainnya. Perubahan ini juga mempengaruhi kesehatan dan status perempuan, anak-anak dan keluarga
Teori transisi demografi menggambarkan tiga tahap pertumbuhan penduduk yang mengiringi perkembangan ekonomi Negara-negara Barat, yaitu:
a.    Potensi pertumbuhan tinggi. Pada tahap ini, tingkat kelahiran dan kematian tinggi pada level yang sama, sehingga pertumbuhan penduduk rendah. Jika mortalitas menurun pada tahap ini tanpa disertai penurunan fertilitas, jumlah penduduk akan meningkat secara cepat.
b.    Transisi. Pada tahap ini mulai dengan penurunan mortalitas sementara fertilitas tetap tinggi kemudian fertilitas bergeser turun sampai keduanya sama-sama pada tingkat yang rendah. Pada bagian awal tahap ini, pertumbuhan penduduk berpotensi tinggi, namun kemudian menurun.
c.    Mulai menurun. Pada akhir tahap ini, tingkat kelahiran dan kematian rendah dan relatif stabil. Fertilitas menurun pada level yang lebih rendah daripada tingkat kematian sehingga menghasilkan penurunan penduduk.
Meskipun transisi demografi memberi perspektif pada sejarah perubahan penduduk di negara Barat, teori ini tidak  secara lengkap menggambarkan dan menjelaskan pola perubahan penduduk di masyarakat non Barat atau di negara-negara Berkembang dimana faktor eksternal telah mempengaruhi penurunan tingkat mortalitas tanpa bersamaan dengan penurunan angka kelahiran.
Teori transisi epidemiologi menggambarkan perubahan pola kesehatan dan penyakit dengan fokus pada tingkat mortalitas dan fertilitas serta interaksi antara faktor sosial, ekonomi, demografi dan variabel kesehatan. Tiga tahap transisi epidemiologi paralel dan mempengaruhi tuga tahap transisi demografi, yaitu:
a.    Masa wabah dan kelaparan. Selama tahap ini, pravalensi penyakit endemik tinggi, status gizi buruk, dan infeksi penyakit serta kelaparan merajalela. Tingkat kelahiran dan kematian tinggi, serta pertumbuhan penduduk rendah. Struktur keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga yang banyak, generasi dalam rumah tangga berlipat ganda dan gaya hidup dominan terpusat pada keluarga. Fungsi perempuan sebagai ibu tanpa hak atau tanggung jawab di luar rumah.
b.    Masa penurunan pandemi. Pada tahap ini, penyakit dan kelaparan menurun, angka mortalitas juga menurun, angka kelahiran naik, dan penduduk tumbuh. Keluarga besar masih banyak terutama di pedesaan tetapi keluarga inti menjadi lebih biasa ditemui di perkotaan. Perempuan mulai terlibat dalam aktivitas di luar rumah.
c.    Masa penyakit degeneratif dan penyakit akibat ulah manusia. Selama periode ini, kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan membaik. Penyakit infeksi dan kondisi gizi buruk menurun. Angka kelahiran turun dan jumlah penduduk stabil. Penyakit kronik seperti penyakit jantung, kanker, stroke, dan penyakit yang disebabkan oleh paparan pekerjaan, menjadi penyebab utama kematian. Keluarga kecil sudah menjadi norma. Emansipasi perempuan meningkat dari peran tradisional menjadi lebih berpendidikan dan berorientasi karier.
4.   Penggunaan Methode Epidemiologi dalam Kesehatan Reproduksi  
Metode epidemiologi digunakan untuk mendefinisikan masalah kesehatan reproduksi, menjelaskan penyebab masalah ini, menguji intervensi dan mengevaluasi program. Definisi masalah termasuk gambaran populasi yang terpengaruh, etiologi masalah kesehatan, identifikasi faktor risiko yang bisa diubah/dikendalikan dan melakukan surveilans untuk mendeteksi tren masalah. Pengurangan faktor risiko melalui intervensi tergantung pada penilaian yang akurat pada perbandingan safety dan efficacy intervensi dan treatmen yang diusulkan. Epidmeiologi analitik digunakan untuk menguji intervensi. Metode epidemiologi dan hasilnya digunakan untuk menilai apakah program berdasarkan intervensi dan treatmen yang tepat dan apakah program dan treatmen digunakan secara tepat. Cost-benefit analysis diaplikasikan untuk menentukan apakah intervensi menggunakan sumber daya terbaik yang tersedia.

Contoh 1
Proyek pendekatan risiko di Shunyi pada kesehatan perinatal (Yan et al., 1989) yang dilakukan di Kota Shunyi, Republik Rakyat Cina, menunjukkan bahwa metode epidemiologi diaplikasikan untuk definisi masalah, intervensi dan testing serta evaluasi program. Proyek pendekatan risiko untuk memperbaiki pelayanan kesehatan perinatal mulai pada tahun 1983 dan berlangsung selama 5 tahun.

Definisi Masalah
Peneliti mengumpulkan data 1914 perempuan hamil dan 1928 bayinya serta 50 kasus kematian perinatal. Diantara masalah lainnya, peneliti menemukan bahwa 151 per 1000 perempuan mengalami hypertensi selama kehamilannya dan 1 per 1000 mengalami eklampsia. Angka kematian perinatal pada bayi yang lahir dari perempuan tersebut meningkat. Seperti, kematian perinatal pada bayi yang lahir dari perempuan yang mengalami hypertensi ringan selama kehamilannya adalah 4,6 per 1000 kelahiran atau 2 kali lebih besar dibandingkaan dengan kehamilan tanpa komplikasi karena gangguan ini. Angka kematian bayi yang lahir dari perempuan yang mengalami hipertensi lebih buruk lagi yaitu 10,8 per 1000 kelahiran.

Intervensi dan Testing
Untuk menurunkan insiden pre eklampsia, eklampsia dan kematian perinatal karena gangguan hypertensi selama kehamilan, peneliti memulai sejumlah intervensi pada tahun 1985. Mereka mendidik pasien tentang pentingnya istirahat, gizi yang tepat dan tanda-tanda serta gejala eklampsia. Pada perempuan yang berisiko tinggi dibutuhkan setiap minggu atau dua minggu sekali melakukan pengukuran tekanan darah. Peneliti juga memberikan pelatihan pada petugas pelayanan kesehatan dan mengajari dokter desa untuk mengukur tekanan darah dan mengecek peralatannya. Praktisi di rumah sakit kota diajari bagaimana mendiagnosa dan mengobati gangguan hypertensi, membuat rujukan yang tepat ke rumah sakit kabupaten dan mengikuti protokol yang telah disusun untuk monitoring pada semua perempuan yang hamil.

Evaluasi Program
Peneliti melakukan surveilans untuk menilai dampak intervensi. Dari tahun 1984-1986, insiden pre eklampsia menurun dari 1,8 menjadi 0,4% dan kematian perinatal pada perempuan yang mengalami komplikasi gangguan ini menurun dari 10,8 per 1000 kelahiran menajdi 0. Tim peneliti menyimpulkan bahwa, intervensi program sudah sukses besar dalam menurunkan kesakita ibu dan bayi serta kematian karena gangguan hipertensi saat kehamilan.

Pustaka
1.   Wingo, P. A., Higgins, J. E., Rubin, G. L., Zahniser, S. C., 1991. An Epidemiologic Approach to Reproductive Health. Atlanta Georgia USA, North Carolina USA, Geneva Switzerland: CDC-FHI-WHO.
2.   Kyeli, M. 1991. Reproductive and Perinatal Epidemiology. Boston: CRC Press
3.   Yan  RY, McCarthy BJ, Ye HF, et al. 1989. The risk approach in perinatal Health: Shunyi County, People’s republic of China. Atlanta, Georgia: Center for Disease Control (World Health Organization Collaborating Center in Perinatal Care and Health Service Research in maternal and Child Health).




Selasa, 07 Mei 2013

Standar Minimal Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi di Daerah Bencana



Bencana selalu menimbulkan permasalahan. Salah satunya bidang kesehatan. Timbulnya masalah ini berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada buruknya kebersihan diri dan sanitasi lingkungan. Akibatnya berbagai jenis penyakit menular muncul.

Penanggulangan masalah kesehatan merupakan kegiatan yang harus segera diberikan baik saat terjadi dan pasca bencana disertai pengungsian. Saat ini sudah ada standar minimal dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan penganan  pengungsi. Standar ini mengacu pada standar  internasional. Kendati begitu di lapangan, para pelaksana tetap diberi keleluasaan untuk melakukan penyesuaian sesuai kondisi keadaan di lapangan.

Beberapa standar minimal yang harus dipenuhi dalam menangani korban bencana khususnya di pengungsian dalam hal lingkungan adalah:



A. Pengadaan Air.

Dalam situasi bencana mungkin saja air untuk keperluan minumpun tidak cukup, dan dalam hal ini pengadaan air yang layak dikunsumsi menjadi paling mendesak. Namun biasanya problema–problema kesehatan yang berkaitan dengan air muncul akibat kurangnya persediaan dan akibat kondisi air yang sudah tercemar sampai tingkat tertentu.
Tolok ukur kunci
  1. Persediaan air harus cukup untuk memberi sedikit–dikitnya 15 liter per orang   per hari
  2. Volume aliran air ditiap sumber sedikitnya 0,125 liter perdetik.
  3. Jarak pemukiman terjauh dari sumber air tidak lebih dari 500 meter
  4. 1 (satu) kran air untuk 80 – 100 orang
B. Kualitas air


Air di sumber–sumber harus layak diminum dan cukup volumenya untuk keperluan keperluan dasar (minum, memasak, menjaga kebersihan pribadi dan rumah tangga) tanpa menyebabakan timbulnya risiko–risiko besar terhadap kesehatan akibat penyakit–penyakit maupun pencemaran kimiawi atu radiologis dari penggunaan jangka pendek.
Tolok ukur kunci :
  1. Di sumber air yang tidak terdisinvektan (belum bebas kuman), kandungan bakteri dari pencemaran kotoran manusia tidak lebih dari 10 coliform per 100 mili liter
  2. Hasil penelitian kebersihan menunjukkan bahwa resiko pencemaran semacam itu sangat rendah.
  3. Untuk air yang disalurkan melalui pipa–pipa kepada penduduk yang jumlahnya lebih dari 10.000 orang, atau bagi semua pasokan air pada waktu ada resiko atau sudah ada kejadian perjangkitan penyakit diare, air harus didisinfektan lebih dahulu sebelum digunakan sehingga mencapai standar yang bias diterima (yakni residu klorin pada kran air 0,2–0,5 miligram perliter dan kejenuhan dibawah 5 NTU)
  4. Konduksi tidak lebih dari 2000 jS / cm dan airnya biasa diminum
  5. Tidak terdapat dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan pengguna air, akibat pencemaran kimiawi atau radiologis dari pemakaian jangka pendek, atau dari pemakain air dari sumbernya dalam jangka waktu yang telah direncanakan, menurut penelitian yang juga meliputi penelitian tentang kadar endapan bahan–bahan kimiawi yang digunakan untuk mengetes air itu sendiri. Sedangkan menurut penilaian situasi nampak tidak ada peluang yang cukup besar untuk terjadinya masalah kesehatan akibat konsumsi air itu.
C. Prasarana dan Perlengkapan

Tolok ukur kunci :
  1. Setiap keluarga mempunyai dua alat pengambil air yang berkapasitas 10–20 liter, dan tempat penyimpan air berkapasitas 20 liter. Alat–alat ini sebaiknya berbentuk wadah yang berleher sempit dan/bertutup
  2. Setiap orang mendapat sabun ukuran 250 gram per bulan.
  3. Bila kamar mandi umum harus disediakan, maka prasarana ini harus cukup banyak untuk semua orang yang mandi secara teratur setiap hari pada jam–jam tertentu. Pisahkan petak–petak untuk perempuan dari yang untuk laki–laki.
Bila harus ada prasarana pencucian pakaian dan peralatan rumah tangga untuk umum, satu bak air paling banyak dipakai oleh 100 orang.


D. Pembuangan Kotoran Manusia

Jumlah Jamban dan Akses

Masyarakat korban bencana harus memiliki jumlah jamban yang cukup dan jaraknya tidak jauh dari pemukiman mereka, supaya bisa diakses secara mudah dan cepat kapan saja diperlukan, siang ataupun malam
Tolok ukur kunci :
  1. Tiap jamban digunakan paling banyak 20 orang
  2. Penggunaan jamban diatur perumah tangga dan/menurut pembedaan jenis kelamin (misalnya jamban persekian KK atau jamban laki–laki dan jamban perempuan)
  3. Jarak jamban tidak lebih dari 50 meter dari pemukiman (rumah atau barak di kamp pengungsian). Atau bila dihitung dalam jam perjalanan ke jamban hanya memakan waktu tidak lebih dari 1 menit saja dengan berjalan kaki.
  4. Jamban umum tersedia di tempat–tempat seperti pasar, titik–titik pembagian sembako, pusat – pusat layanan kesehatan dsb.
  5. Letak jamban dan penampung kotoran harus sekurang–kurangnya berjarak 30 meter dari sumber air bawah tanah. Dasar penampung kotoran sedikitnya 1,5 meter di atas air tanah. Pembuangan limbah cair dari jamban tidak merembes ke sumber air mana pun, baik sumur maupun mata air, suangai, dan sebagainya
  6. 1 (satu) Latrin/jaga untuk 6–10 orang

E. Pengelolaan Limbah Padat


Pengumpulan dan Pembuangan Limbah Padat

Masyarakat harus memiliki lingkungan yang cukup bebas dari pencemaran akibat limbah padat, termasuk limbah medis.
  1. Sampah rumah tangga dibuang dari pemukiman atau dikubur di sana sebelum sempat menimbulkan ancaman bagi kesehatan.
  2. Tidak terdapat limbah medis yang tercemar atau berbahaya (jarum suntik bekas pakai, perban–perban kotor, obat–obatan kadaluarsa,dsb) di daerah pemukiman atau tempat–tempat umum.
  3. Dalam batas–batas lokasi setiap pusat pelayanan kesehatan, terdapat tempat pembakaran limbah padat yang dirancang, dibangun, dan dioperasikan secara benar dan aman, dengan lubang abu yang dalam.
  4. Terdapat lubang–lubang sampah, keranjang/tong sampah, atau tempat–tempat khusus untukmembuang sampah di pasar–pasar dan pejagalan, dengan system pengumpulan sampah secara harian.
  5. Tempat pembuangan akhir untuk sampah padat berada dilokasi tertentu sedemikian rupa sehingga problema–problema kesehatan dan lingkungan hidup dapat terhindarkan.
  6. 2 (dua) drum sampah untuk 80 – 100 orang
Tempat/Lubang Sampah Padat

Masyarakat memiliki cara – cara untuk membuang limbah rumah tangga sehari–hari secara nyaman dan efektif.
Tolok ukur kunci :
  1. Tidak ada satupun rumah/barak yang letaknya lebih dari 15 meter dari sebuah bak sampah atau lubang sampah keluarga, atau lebih dari 100 meter jaraknya dar lubang sampah umum.
  2. Tersedia satu wadah sampah berkapasitas 100 liter per 10 keluarga bila limbah rumah tangga sehari–hari tidak dikubur ditempat.

F. Pengelolaan Limbah Cair


Sistem pengeringan

Masyarakat memiliki lingkungan hidup sehari–hari yang cukup bebas dari risiko pengikisan tanah dan genangan air, termasuk air hujan, air luapan dari sumber–sumber, limbah cair rumah tangga, dan limbah cair dari prasarana–prasarana medis. Hal–hal berikut dapat dipakai sebagai ukuran untuk melihat keberhasilan pengelolaan limbah cair :
  1. Tidak terdapat air yang menggenang disekitar titik–titik pengambilan/sumber air untuk keperluan sehari–hari, didalam maupun di sekitar tempat pemukiman
  2. Air hujan dan luapan air/banjir langsung mengalir malalui saluran pembuangan air.
  3. Tempat tinggal, jalan – jalan setapak, serta prasana – prasana pengadaan air dan sanitasi tidak tergenang air, juga tidak terkikis oleh air. (Sumber: Kepmenkes No. 1357 /Menkes/SK/XII/2001)

share tugas CLTS ( Community-Led Total Sanitation )


Dusun Sukamenanti, Desa Muaro Pijoan, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten MuaroJambi, Jambi, letaknya tak terlalu jauh dari ibukota propinsi Jambi. Dengan perjalanan darat memakan waktu sekitar setengah jam. Dusun tersebut berada tiga kilometer dari jalan raya dan berada di sepanjang tepian Sungai Batanghari. Dusun ini sering menjadi langganan banjir. Dusun ini dihuni oleh 75 kepala keluarga (KK), rata-rata tinggal di rumah panggung. Dari jumlah tersebut hanya satu KK yang memiliki jamban yakni Ketua RW, M Yumi Nangsiah. Warga lainnya buang air besar di sungai yang menuju ke Sungai Batanghari. ''Kebiasaan itu sudah turun temurun,'' kata Yumi. Kondisi itu pula yang menjadikan dusun ini terpilih bersama tiga dusun lainnya di Jambi untuk dijadikan lokasi uji coba program Community-Led Total Sanitation (CLTS)

Pada 6 Juli 2005, masyarakat setempat dipicu untuk tidak membuang air sembarangan. Hasilnya berupa penolakan. Lina, fasilitator pendamping mengungkapkan warga dusun tetap menolak untuk meninggalkan buang air besar di sungai. Alasannya, mereka tidak memiliki air bersih. Saat itu, warga berjanji akan membangun jamban/WC kalau ada air bersih ke dusun tersebut. penolakan itu justru datang dari tokoh masyarakat setempat.  Namun warga yang telah mendapatkan pelatihan tidak putus asa. Ketua RW memulai mengambil inisiatif  bersama warga yang telah terpicu. Caranya mereka yang ikut pelatihan, berjumlah enam orang,  langsung membangun jamban/WC baru untuk memberi contoh warga lainnya. Bersama dengan itu Ketua RW menggandeng tiga ketua RT di dusun tersebut untuk bergerak, termasuk meyakinkan Kepala Dusun Marzuki yang semula menentang. Langkah itu juga didukung oleh para pemuda dan tokoh-tokoh agama. Seminggu kemudian tak ada lagi penghalang, dan warga mulai sadar.  Selama ini, menurut Yumi, beberapahal yang menjadi keberatan warganya selain air bersih adalah faktor kebiasaan dan daya beli bahan untuk membangun jamban. ''Banyak warga yang tidak mau asal bangun jamban,'' jelasnya. Untuk mengatasi masalah ini ia bersama warga menggalakkan gotong royong, kerja bakti, baik dalam membangun konstruksi jamban maupun mencetak kloset sederhana.Perubahan perilaku warga ini juga terus didorong oleh Kepala Desa Lukman AS dan istri Camat Jambi Luar Kota Ny. Habibah yang tak henti-henti mengunjungi warganya. Pemicuan juga dilakukan dengan lomba kebersihan dan jamban antar-RT.  Dalam dua bulan seluruh warga Dusun Sukamenanti telah bebas buang air besar di sungai.  Dengan inovasi masing-masing, warga memilih jamban sesuai kemampuannya. Semuanya leher angsa. Entah siapa yang mengarahkan, banyak di antara jamban yang dibangun adalah jamban melayang. Artinya closet terletak satu meter di atas permukaan tanah. Ini untuk menghindari banjir yang sering singgah di dusun tersebut. Berdasarkan pengakuan warga, mereka tak banyak mengeluarkan uang untuk jamban ini. Rata-rata setiap jamban sederhana hanya menghabiskan biaya Rp. 14 ribu. Harga yang murah ini karena di dusun itu tersedia sumber pasir. Selain itu, camat setempat memberikan bantuan semen untuk membuat kloset massal. Marzuki, Kepala Dusun Sukamenanti, mengaku sangat bergembira setelah dusunnya bebas BAB sembarangan. Kini, menurutnya, warganya telah membuat kesepakatan bahwa siapa saja yang membangun jamban di sungai akan dibakar.  Memang, di atas sungai yang menuju ke Sungai Batanghari tersebut tak ada lagi jamban. Ini karena pada 26 September ada gerakan penghanyutan jamban sungai. Acara ini dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Muara Jambi dan disaksikan oleh Bupati Muara Jambi. Kini warga memiliki cita-cita untuk mengajak warga dusun di sekitarnya. ''Kita ingin dusun lain bebas BAB sembarangan juga, karena kalau tidak tahinya tetap ke dusun kita,'' kata Yumi. Hanya saja ia tak berani memicu warga desa lain sendirian tanpa didampingi aparat pemerintah. ''Soalnya, mereka meremehkan kita,'' katanya.

Program CLTS pertama kali dilaksanakan di Bangladesh tahun 2000. Kini program tersebut telah menyebar di delapan negara termasuk Indonesia. Di setiap Negara ada pembelajaran yang bisa ditarik untuk memperbaiki proses. Kamal menguraikan di Bangladesh ada kendala yakni berupa masuknya subsidi atau bantuan dari pemerintah, yang justru menghambat keberhasilan program.
Yang harus dilakukan dalam CLTS
  1. Memicu dengan baik (melalui proses perkenalan, diskusi/analisas partisipatif,  transect walk, pemicuan dan motivasi
  2.  Pemahaman bahwa CLTS bukan proyek, tetapi sebuah pendekatan
  3.  Belajar bersama (bukan penyuluhan) Pemicuan yang terus menerus untuk menimbulkan rasa malu, jijik, gengsi, dengan menggunakan bahasa yang dikenal di masyaraka
  4. Pendampingan/monitoring yang intensif
  5. Meningkatkan ketrampilan fasilitator
  6.  Membentuk fasilitator baru (yang siap mental, pantang menyerah, dan berkomitmen tinggi) dan tim fasilitator masyarakat
  7. Implementasi CLTS di wilayah yang tidak ada proyek
  8. Dukungan untuk menciptakan keswadayaan masyarakat (melalui kegiatan gotong royong, tokoh adat, tokohagama)
  9. Memberi kebebasan untuk berinisiatif
  10.  Memberikan apresiasi/pujian kepada masyarakat yang mau melakukan perubahan

BPJS dan Mutu Pelayanan Kesehatan


edi-18feb
Dimulai dari laporan The Institute of Medicine "To Err is Human" pada tahun 1999, saat ini tersedia banyak dokumentasi tentang medical error beserta dampaknya terhadap nyawa manusia dan biaya pelayanan kesehatan. Sejak saat itu juga, berbagai jenis pengukuran, standar dan upaya untuk meningkatkan mutu juga telah tersedia dan terus berkembang.

"Pay for Performance" merupakan salah satu konsep stratejik yang paling banyak dibahas, bahkan berbagai kalangan di Amerika sejak 2003 telah mendorong agar "pay for performance" menjadi prioritas utama nasional dan program asuransi Medicare harus dapat menjadi pemimpin dalam upaya ini dengan area utama pada pelayanan di rumah-sakit. Berbagai program "pay for performance" telah dikembangkan dengan berbagai variasi, namun demikian terdapat tiga kunci utama dalam setiap program tersebut, yaitu pengukuran mutu, bentuk insentif dan besarnya insentif.

Pada tahun 2014, Indonesia akan mulai menerapkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dimana Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) akan dituntut untuk ikut berpartisipasi melakukan monitoring, evaluasi dan mendorong mutu pelayanan dan keselamatan pasien yang diberikan oleh provider pelayanan kesehatan.

Hal ini perlu dilakukan disamping untuk merubah persepsi masyarakat bahwa lembaga jaminan kesehatan tidak hanya peduli terhadap perhitungan dan pengumpulan premi serta pembayaran tagihan pelayanan kesehatan, tetapi juga berperan serta dalam meningkatkan dan menjamin mutu dan keselamatan pelayanan kesehatan yang diterima oleh para peserta jaminan tersebut.

BPJS harus terlibat aktif dalam membangun sistem pengukuran kinerja provider pelayanan kesehatan dan mengkaitkannya dengan sistem insetif. 

belajar "Methodology for Participatory Assesment (MPA)"


Metodologi Participatory Assessment (MPA) adalah metodologi terobosan yang pertama kali divalidasi dalam studi penelitian pada tahun 2001. Hal ini dilakukan oleh Pogramme Air & Sanitasi (WSP) dan IRC dengan 88 komunitas di 15 negara dan meneliti isu-isu berikut dan koneksi mereka:
  • Tingkat perencanaan demokratis dan demand-responsif;
  • Tingkat pembagian yang adil dari beban dan manfaat antara perempuan dan laki-laki;
  • Tingkat otonomi, ekuitas, dan kualitas manajemen layanan lokal;
  • Tingkat dukungan kelembagaan untuk partisipasi masyarakat dan manajemen, dan jenis kelamin, dan keadilan sosial;
  • Tingkat dukungan kebijakan
apa definisi MPA ??

MPA menggunakan pendekatan-pendekatan partisipatori, misalanya Participatory Rural Appraisal (PRA), Self-esteem, Associative Strength, Resourcefulnee, dan Action Planning and Responsibilities (SARAR) sebagai perangkat dan metode yang selama bertahun-tahun telah terbukti efektif untuk membuat masyarakat berpartisipasi. MPA mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
  1.  MPA merupakan metode yang baik ditujukan kepada dinas pelaksana maupun kepada masyarakatuntuk mencapai program yang dikelola secara bersinambungan dan berdaya guna. Metode ini dirancang sedemikian rupa untuk melibatkan semua stakeholder  utama yang menganalisis keberadaan masyarakat yang memiliki empat komponen penting: lelaki miskin, perempuan miskin, lelaki kaya, dan perempuan kaya. Dengan demikian, MPA mengoperasionalkan kerangka analisis gender dan kemiskina untuk menaksirkan/memprediksi kesinambungan program.
  2.  MPA menggunakan satu set indikator yang sector specific untuk mengukur kesinambungan, ketanggapan kebutuhan geder, dan kepekaan akan kemiskinan. Masing-masing diukur denganmenggunakan urutan partisipatory pada masyarakat, dinas pelaksana, dan embuat kebijakan. Hasil dari  penilaian pada tingkat masyarakat dibawa oleh wakil-wakil masyarakat pengguna dan dinas ke dalam rapat stakeholder, dengan tujuan untuk secara bersama-sama mengevaluasi faktor-faktor kelembagaan/institusi onal yang berpengaruh pada dampak program dan kesinambungan di lapangan.
  3.  MPA menghasilkan sejumlah data kualitatif dan kuantitatif yang dapat dianalisi antar masyarakat, dan antar waktu. Dengan deimikian, MPA digunakan untuk menghasilkan inforfasi manajemen yang sesuai untuk analisis program.
      Siapa yang Dapat Menggunakan MPA? 

MPA membuka kemungkinan untuk digunakan dalam bermacam-macam keperluan. Informasi yang dihasilkan secara visual dapat dengan mudah dikonversikan ke dalam proses numerik data atau presentasi grafis. Hasil yang berupa grafik tingkat masyarakat akan diperoleh segera setelah diterapkannya perangkat partisipatori terhadap kelompok-kelompok dalam masyarakat, lelaki, perempuan, kaya, dan miskin yang lalu dapat dipresentasikan di hadapan danversisfikasikan kepada warga masyarakat secara keseluruhan. Informasi ini dapat digunakan untuk membantu para manajer atau personal program melihat kecenderungan yang terjadi dan menganalisis sebab-sebabnya. Penilaian atas program dapat dipakai untuk keperluan analisis kebijakan.

  Bagaimana dengan  Persyaratan dalam MPA ??

MPA dirancang sebagai bagian integral dari suatu proyek bukan sekedar tambahan atau sesuatu yang berdiri sendiri, untuk merancang sebuah kegiatan partisipatif yang sedang berjalan maupun yang ingin menerapkan penilaian partisipatori
MPA bukan hanya sekedar seperangkat peralatan partisipatori, karena pertama, MPA menambahkan sebuah kerangka analisis yang mendorong ke arah kesinambungan, mengubah data partisipatori menjadi kode kuantitatif untuk digunakan ke dalam analisis kesinambungan. Kedua, karena watak / ciri keseluruhannya adalah partisipatori maka MPA mendorong proses pembelajaran para peserta.
Umumnya, penilaian MPA untuk keperluan rancangan program/proyek memerlukan sampel yang terdiri atas beberapa masyarakat yang secara kesuluruhan mewakili variabel utama yang berepengaruh dalam pembuatan rancangan kegiatan/program baru, misalnya kondisi geohidrologis dan sosio-ekonomi. Tindakan lanjut penialaian yang digunakan dapat diterapkan untuk kegiatan/program yang dikendalikan masyarakat.

    MPA dikembangkan untuk penilaian terbukti merupakan alat yang berguna dan efektif bagi pembuat kebijakan, manajer program dan masyarakat setempat dalam memonitor kesinambungan program mereka dan mengambil tindakan yang diperlukan agar semakin membaik. Metodologi tersebut mengungkapkan bagaimana caranya individu-individu yang terpinggirkan (kaum perempuan dan keluarga kurang mampu) dapat ikut berpartisipasi dan mengambil manfaat dari program, bersama-sama dengan kaum lelaki dan keluarga yang berada. Metode ini juga memperlihatkan kepada faktor-faktor kunci yang membawa kita menuju keberhasilan dalam program-program yang dikelola masyarakat, serta pada saat yang bersamaan juga memungkinkan kita untuk melakukan agregasi kuantitatif atas data monitoring masyarakat agar dapat digunakan pada tingkat program dan tingkat pembuat kebijakan