EPIDEMIOLOGI
KESEHATAN REPRODUKSI
Oleh:
Ni’mal Baroya,
MPH.
Dosen Bagian
Epidemilogi dan Biostatistika Kependudukan
1. Pengertian dan Ruang Lingkup
Pemahaman tentang epidemiologi kesehatan reproduksi
perlu dilandasi pemahaman tentang epidemiologi yang utuh. Secara singkat,
epidemiologi didefinisikan sebagai studi tentang pola penyakit, kesehatan dan
perilaku manusia. Seorang epidemiolog, akan mampu menjawab pertanyaan
penelitian dengan cara mengklasifikasi individu ke dalam satu atau lebih
kelompok yang berbeda kemudian menilai perbedaan diantara kelompok tersebut. Dengan
demikian, Epidemiologi kesehatan reproduksi merupakan aplikasi dari studi
epidemiologi dalam mengkaji risiko perilaku, lingkungan dan perawatan kesehatan
terhadap sistem reproduksi baik pada laki-laki maupun perempuan serta risiko terhadap kesehatan anak yang
dilahirkannya. Jadi, epidemiologi kesehatan reproduksi lebih banyak menjangkau
ranah penelitian.
Kesehatan reproduksi manusia dimulai dari pertumbuhan
dan perkembangan seksual yang terwujud dalam masa pubertas, dan akan
berlangsung terus sepanjang hidupnya pada laki-laki dan pada perempuan akan berakhir
pada masa menopause. Kesehatan reproduksi dipengaruhi oleh fertilitas dan
pengambilan keputusan tentang aktivitas seksual, kehamilan dan pemakaian
kontrasepsi. Secara mendetail, Kiely (1990) menjelaskan lingkup kajian
epidemiologi kesehatan reproduksi sebagai berikut:
a. Perkembangan
anak dan masa pubertas, peneliti epidemiologi reproduksi mengeksplorasi faktor
risiko terjadinya kelahiran di usia dini, kehamilan yang tidak diinginkan baik
konsekuensi pada aspek kesehatan maupun sosial. Salah satu tantangan besar para
epidemiolog reproduksi di negara maju adalah mengidentifikasi faktor risiko
yang bisa dicegah terhadap terjadinya melahirkan di usia dini, sejak angka
fertilitas di kalangan remaja di negara-negara tersebut meningkat. Investigasi
pada permasalahan ini termasuk menggali alasan pada akses dan pemanfaatan
metode perencanaan kelahiran yang berbeda serta kesehatan bayi yang dilahirkan
ibu yang masih remaja.
b. Akses dan
pemanfaatan perawatan kehamilan. Secara konsisten, hasil penelitian telah
menemukan bahwa bayi yang dilahirkan ibu yang mendapat perawatan kehamilan
sejak dini (usia trimester pertama) dan yang mendapatkan perawatan kehamilan
yang adekuat (diukur berdasarkan jumlah kunjungan ke perawatan kehamilan)
mempunyai risiko lebih rendah untuk terjadi berat bayi lahir rendah dan kematian perinatal. Meskipun belum jelas
bagaimana keuntungan ini berhubungan dengan faktor individu perempuan yang
mendapat perawatan kehamilan lebih dini dan adekuat dan bagaimana hubungannya
dengan macam dan kualitas pelayanan yang diterima. Salah satu ranah penelitian
terbaru adalah mengkaji komponen perawatan kehamilan untuk menguji perbedaan insiden kesakitan dan
hasil kehamilan (bayi yang dilahirkan).
c. Safety dan efficacy
treatment komplikasi ibu dan bayi.
Dengan menggunakan randomized clinical
trial, peneliti menguji safety dan efficacy treatment obat betamimetic
untuk menghentikan kelahiran premature. Dengan studi case-control,
peneliti mengkaji risiko lahir cacat
pada obat yang digunakan selama perawatan kehamilan, seperti Bendectin
digunakan untuk mengobati mual dan muntah. Dengan menggunakan epidemiologi
deskriptif, peneliti melacak peningkatan prevalensi operasi Caesar. Dan dengan
menggunakan studi cohort, peneliti mengukur dampak regionalisasi perawatan
kehamilan terhadap peningkatan penggunaan unit perawatan intensif pada bayi
baru lahir (neonatal).
d. Risiko
lingkungan dan perilaku terhadap reproduksi. Hal ini termasuk bahan kimia di
tempat kerja yang mungkin mempengaruhi produksi sperma dan meningkatkan risiko
aborsi spontan, merokok dan alcohol mempengaruhi hasil kehamilan dan bahan
kimia yang terdapat di lingkungan juga mempengaruhi hasil kehamilan.
e. Kajian tentang
ancaman terhadap kesehatan dan kelangsungan hidup perempuan dan anak
dihubungkan dengan metode perencanaan kelahiran dan kehamilan yang tidak
diinginkan. Beberapa pertanyaan peneliti
yang dikaji adalah sebagai berikut; apakah pemakaian IUD meningkatkan
kemungkinan terjadinya penyakit radang panggul?, apakah aborsi mempengaruhi
bayi yang dilahirkan berikutnya, dan apakah risiko kanker rahim meningkat atau
menurun oleh penggunaan kontrasepsi oral?.
Dengan demikian, menurut Wingo et al. (1991), seorang
epidemiolog reproduksi dapat melakukan kajian pada seluruh aspek kesehatan
reproduksi, termasuk perkembangan seksual, aktivitas seksual, kontrasepsi,
metode kontrasepsi, fertilitas, kehamilan yang tidak diinginkan, abortus yang
disengaja, kesakitan dan kematian ibu dan bayi, masalah saluran reproduksi baik
pada laki-laki maupun perempuan, dan pelayanan kesehatan ibu dan bayi serta
keluarga berencana.
2. Sekilas Sejarah Epidemiologi Reproduksi
Membincangkan sejarah epidemiologi kesehatan
reproduksi, kita harus menilik kembali abad ke-19 di Wina ketika Ignaz
Semmelweis menemukan kematian pada masa nifas (karena demam) lebih tinggi pada perempuan yang pada saat melahirkan di
rumah sakit, bayinya ditolong oleh mahasiswa kedokteran jika dibandingkan
dengan ibu yang saat melahirkannya ditolong oleh bidan. Dia menghubungkan
perbedaan ini pada kebiasaan bidan mencuci tangan mereka pada setiap antara
menolong persalinan (McMahon dan Pugh dalam Wingo et al., 1991).
Epidemiologi reproduksi modern berkembang selama abad
ke-20. Registrasi kelahiran dan kematian di USA sudah tertata pada awal abad
ini, dan di Eropa pada abad 18 dan 19, melakukan identifikasi faktor risiko
kematian ibu dan bayi. Kesehatan masyarakat melakukan pengukuran kemudian
mendesain program untuk mengurangi faktor-faktornya. Seperti, penyediaan pos
susu untuk ibu yang mempunyai bayi. Hal ini dilakukan ketika ditemukan ada
hubungan antara kematian bayi dengan sanitasi dan gizi oleh Holland et al.,
1984 dalam Wingo et al., 1991. Dengan pelaksanaan program intervensi tersebut,
berdasarkan hasil kajian epidemiologi reproduksi, terjadi penurunan 95%
kematian ibu di USA dari tahun 1915-1965. Dan di Swedia, angka kematian bayi
juga turun dari 200 kematian per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1970 menjadi
20 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1950 (Wingo et al., 1991).
3. Pengaruh Demografi dan Epidemiologi
Epidemiologi reproduksi juga berasal dari ilmu demografi,
sebuah disiplin ilmu yang berkembang selama abad ke 19 dari studi registrasi
jamaah gereja di Inggris. Sejarah perubahan kependudukan (transisi demografi)
dan perubahan pola kesehatan dan penyakit (transisi epidemiologi) secara
langsung mempengaruhi mortalitas, fertilitas, angka kelahiran, dan ukuran
kesehatan reproduksi lainnya. Perubahan ini juga mempengaruhi kesehatan dan
status perempuan, anak-anak dan keluarga
Teori transisi demografi menggambarkan tiga tahap
pertumbuhan penduduk yang mengiringi perkembangan ekonomi Negara-negara Barat,
yaitu:
a. Potensi
pertumbuhan tinggi. Pada tahap ini, tingkat kelahiran dan kematian tinggi pada
level yang sama, sehingga pertumbuhan penduduk rendah. Jika mortalitas menurun
pada tahap ini tanpa disertai penurunan fertilitas, jumlah penduduk akan
meningkat secara cepat.
b. Transisi. Pada
tahap ini mulai dengan penurunan mortalitas sementara fertilitas tetap tinggi
kemudian fertilitas bergeser turun sampai keduanya sama-sama pada tingkat yang
rendah. Pada bagian awal tahap ini, pertumbuhan penduduk berpotensi tinggi,
namun kemudian menurun.
c. Mulai menurun.
Pada akhir tahap ini, tingkat kelahiran dan kematian rendah dan relatif stabil.
Fertilitas menurun pada level yang lebih rendah daripada tingkat kematian
sehingga menghasilkan penurunan penduduk.
Meskipun transisi demografi memberi perspektif pada
sejarah perubahan penduduk di negara Barat, teori ini tidak secara lengkap menggambarkan dan menjelaskan
pola perubahan penduduk di masyarakat non Barat atau di negara-negara
Berkembang dimana faktor eksternal telah mempengaruhi penurunan tingkat
mortalitas tanpa bersamaan dengan penurunan angka kelahiran.
Teori transisi epidemiologi menggambarkan perubahan
pola kesehatan dan penyakit dengan fokus pada tingkat mortalitas dan fertilitas
serta interaksi antara faktor sosial, ekonomi, demografi dan variabel
kesehatan. Tiga tahap transisi epidemiologi paralel dan mempengaruhi tuga tahap
transisi demografi, yaitu:
a. Masa wabah dan
kelaparan. Selama tahap ini, pravalensi penyakit endemik tinggi, status gizi buruk,
dan infeksi penyakit serta kelaparan merajalela. Tingkat kelahiran dan kematian
tinggi, serta pertumbuhan penduduk rendah. Struktur keluarga besar dengan
jumlah anggota keluarga yang banyak, generasi dalam rumah tangga berlipat ganda
dan gaya hidup dominan terpusat pada keluarga. Fungsi perempuan sebagai ibu
tanpa hak atau tanggung jawab di luar rumah.
b. Masa penurunan
pandemi. Pada tahap ini, penyakit dan kelaparan menurun, angka mortalitas juga
menurun, angka kelahiran naik, dan penduduk tumbuh. Keluarga besar masih banyak
terutama di pedesaan tetapi keluarga inti menjadi lebih biasa ditemui di
perkotaan. Perempuan mulai terlibat dalam aktivitas di luar rumah.
c. Masa penyakit
degeneratif dan penyakit akibat ulah manusia. Selama periode ini, kondisi sosial,
ekonomi, dan lingkungan membaik. Penyakit infeksi dan kondisi gizi buruk
menurun. Angka kelahiran turun dan jumlah penduduk stabil. Penyakit kronik
seperti penyakit jantung, kanker, stroke, dan penyakit yang disebabkan oleh
paparan pekerjaan, menjadi penyebab utama kematian. Keluarga kecil sudah
menjadi norma. Emansipasi perempuan meningkat dari peran tradisional menjadi
lebih berpendidikan dan berorientasi karier.
4. Penggunaan Methode Epidemiologi dalam Kesehatan
Reproduksi
Metode epidemiologi digunakan untuk mendefinisikan
masalah kesehatan reproduksi, menjelaskan penyebab masalah ini, menguji
intervensi dan mengevaluasi program. Definisi masalah termasuk gambaran
populasi yang terpengaruh, etiologi masalah kesehatan, identifikasi faktor
risiko yang bisa diubah/dikendalikan dan melakukan surveilans untuk mendeteksi
tren masalah. Pengurangan faktor risiko melalui intervensi tergantung pada
penilaian yang akurat pada perbandingan safety dan efficacy intervensi dan
treatmen yang diusulkan. Epidmeiologi analitik digunakan untuk menguji
intervensi. Metode epidemiologi dan hasilnya digunakan untuk menilai apakah
program berdasarkan intervensi dan treatmen yang tepat dan apakah program dan
treatmen digunakan secara tepat. Cost-benefit analysis diaplikasikan untuk
menentukan apakah intervensi menggunakan sumber daya terbaik yang tersedia.
Contoh 1
Proyek pendekatan risiko di Shunyi pada kesehatan perinatal (Yan et al.,
1989) yang dilakukan di Kota Shunyi, Republik Rakyat Cina, menunjukkan bahwa
metode epidemiologi diaplikasikan untuk definisi masalah, intervensi dan
testing serta evaluasi program. Proyek pendekatan risiko untuk memperbaiki
pelayanan kesehatan perinatal mulai pada tahun 1983 dan berlangsung selama 5
tahun.
Definisi
Masalah
Peneliti mengumpulkan data 1914 perempuan hamil dan 1928 bayinya serta
50 kasus kematian perinatal. Diantara masalah lainnya, peneliti menemukan bahwa
151 per 1000 perempuan mengalami hypertensi selama kehamilannya dan 1 per 1000
mengalami eklampsia. Angka kematian perinatal pada bayi yang lahir dari
perempuan tersebut meningkat. Seperti, kematian perinatal pada bayi yang lahir
dari perempuan yang mengalami hypertensi ringan selama kehamilannya adalah 4,6
per 1000 kelahiran atau 2 kali lebih besar dibandingkaan dengan kehamilan tanpa
komplikasi karena gangguan ini. Angka kematian bayi yang lahir dari perempuan
yang mengalami hipertensi lebih buruk lagi yaitu 10,8 per 1000 kelahiran.
Intervensi dan
Testing
Untuk menurunkan insiden pre eklampsia, eklampsia dan kematian perinatal
karena gangguan hypertensi selama kehamilan, peneliti memulai sejumlah
intervensi pada tahun 1985. Mereka mendidik pasien tentang pentingnya
istirahat, gizi yang tepat dan tanda-tanda serta gejala eklampsia. Pada
perempuan yang berisiko tinggi dibutuhkan setiap minggu atau dua minggu sekali
melakukan pengukuran tekanan darah. Peneliti juga memberikan pelatihan pada
petugas pelayanan kesehatan dan mengajari dokter desa untuk mengukur tekanan
darah dan mengecek peralatannya. Praktisi di rumah sakit kota diajari bagaimana
mendiagnosa dan mengobati gangguan hypertensi, membuat rujukan yang tepat ke
rumah sakit kabupaten dan mengikuti protokol yang telah disusun untuk
monitoring pada semua perempuan yang hamil.
Evaluasi
Program
Peneliti melakukan surveilans untuk menilai dampak intervensi. Dari
tahun 1984-1986, insiden pre eklampsia menurun dari 1,8 menjadi 0,4% dan
kematian perinatal pada perempuan yang mengalami komplikasi gangguan ini
menurun dari 10,8 per 1000 kelahiran menajdi 0. Tim peneliti menyimpulkan
bahwa, intervensi program sudah sukses besar dalam menurunkan kesakita ibu dan
bayi serta kematian karena gangguan hipertensi saat kehamilan.
Pustaka
1.
Wingo,
P. A., Higgins, J. E., Rubin, G. L., Zahniser, S. C., 1991. An Epidemiologic Approach to Reproductive
Health. Atlanta Georgia USA, North Carolina USA, Geneva Switzerland:
CDC-FHI-WHO.
2.
Kyeli,
M. 1991. Reproductive and Perinatal
Epidemiology. Boston: CRC Press
3.
Yan RY,
McCarthy BJ, Ye HF, et al. 1989. The risk approach in perinatal Health: Shunyi
County, People’s republic of China. Atlanta, Georgia: Center for Disease
Control (World Health Organization Collaborating Center in Perinatal Care and
Health Service Research in maternal and Child Health).